Haedar: Tahun Baru, Bergerak Maju

0
8
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. (Foto: Istimewa)

KABAREWISATA.COM – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengungkapkan, untuk apa dari tahun ke tahun umat Islam merayakan tahun baru hijriyah? Pun, untuk menyambut 1 Muharram 1446 H tahun ini. Apa sekadar memperingati dan menyemarakkan syiar? Tentu tidak.

Kata Haedar, semarak menyambut tahun baru hijrah dalam aktivitas di berbagai lingkup komunitas maupun melalui media sosial, boleh meluas sebagai syiar keislaman. “Namun niscaya disertai memupuk kesadaran baru untuk maju di segala bidang kehidupan,” papar Haedar.

Menurut Haedar, peringatan hijrah ini dijadikan sebagai jalan bermuhasabah. “Sekaligus memaknai sejarah hijrah untuk mengagendakan kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia,” jelas Haedar, Minggu (7/7/2024).

Haedar menjelaskan, hijrah Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin tahun 622 M dari Makkah ke Yasrib adalah tonggak bersejarah dilahirkannya tahun hijriyah. “Sungguh betapa penting peristiwa hijrah,” tandasnya.

Hijrah, kata Haedar, bukan sekadar migrasi fisik. “Hijrah fisik pun kala itu sangat berat karena Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar berada dalam ancaman pembunuhan berencana kamu kafir Quraisy,” ungkap Haedar.

Dikatakannya, perjalanan darat Makkah Yasrib dengan transit di Quba beberapa hari pun sungguh melelahkan dalam lintasan waktu sangat panjang. “Hampir sebulan,” jelas Haedar.

Haedar mengatakan, hijrah nonfisik jauh lebih berat pula. “Hijrah adalah tonggak baru sejarah risalah Nabi SAW di jazirah Arab,” terang Haedar.

Hijrah mengubah keadaan bangsa Arab dari kehidupan jahiliyah yang seluruh tatanan sistemnya kacau balau. Berubah atau diubah menuju peradaban baru yang tercerahkan sekaligus mencerahkan semesta. Sebagaimana simbol Yasrib yang terbelakang berubah menjadi al-Madinah al-Munawwarah. Kota peradaban baru nan cerah-mencerahkan disinari nilai-nilai Ilahi.

Dari jazirah Arab dengan peradaban baru al-Madinah al-Munawwarah itulah umat Islam bergerak maju membangun peradaban dunia nan jaya. “Lahirlah era kejayaan Islam berabad-abad lamanya sebagai puncak kebudayaan Islam tertinggi di berbagai bidang kehidupan sehingga dunia Islam menguasai ranah global dalam bingkai The Renaisance of Islam,” kata Haedar.

Dikatakan Haedar, kejayaan Islam itu sangatlah monumental di kala Barat dan kawasan bangsa-bangsa lain berada jauh di belakang dunia Islam. “Itulah era keemasan Islam dalam pancaran kosmopolitanisme Islam yang menyemesta,” tegas Haedar.

Karenanya, ketika kini umat Islam di dunia dan khusus di Indonesia menyambut tahun baru 1446 hijriyah, maka seluruh elemen kekuatan dan bangsa muslim niscaya bangkit menuju pergerakan berkemajuan di segala bidang kehidupan. “Umat Islam tidak cukup hanya kokoh dalam nilai-nilai keislaman di bidang akidah, ibadah dan akhlak semata,” kata Haedar.

Kaum muslim dan dunia Islam, kata Haedar, wajib bergerak maju di seluruh ranah muamalah-keduniaan seperti ekonomi, politik, pendidikan, iptek, pengelolaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusia yang unggul.

“Berakidah, beribadah dan berakhlak justru menjadi fondasi, bingkai dan kerangka nilai mendasar secara transformasional dalam bermuamalah dunyawiyah yang membedakan dengan pihak lain yang pandangan kehidupannya sekular, agnostik dan ateistik,” jelas Haedar.

Tahun 1446 hijriyah makin menuntut umat Islam sedunia memiliki Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) sebagai utang peradaban. “Malulah umat Islam dalam menentukan hari dan tanggal baru hijriyah termasuk untuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, 1 Muharram, masih berbeda antarnegara dan di satu negara, apalagi dengan cara dadakan dan mengandung ketidakpastian,” kata Haedar.

Padahal, di dunia luar Kalender Masehi atau Miladiah begitu pasti dan telah lama menjadi rujukan atau pegangan pasti umat manusia secara global. “Perlu ijtihad dan penafsiran baru atas hadits Nabi yang terkait dengan hukum alam dan peredaran benda-benda langit yang pasti sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih dan mengarah pada kepastian,” tutur Haedar.

Kata Haedar, hilangkan ketidakpastian menuju kepastian dalam penentuan hari, bulan dan tahun hijriyah sebagai bukti umat Islam tinggi tingkat kemajuan peradabannya.

“Bukankah Allah sendiri menciptakan alam semesta dengan hukum alam atau sunatullah-Nya yang pasti?” kata Haedar.

Allah pulalah yang menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam beragama (QS Al-Baqarah: 185). “Kenapa umatnya justru memproduksi kesukaran yang menunjukkan kekakuan dan kebekuan berpikir,” papar Haedar.

Menurut Haedar, umat Islam Indonesia masih harus mengejar kemajuan dari sejumlah ketertinggalan. “Mayoritas secara jumlah tapi masih tertinggal secara ekonomi, penguasaan iptek, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya insani umat. Umat Islam secara politik juga tidak sebanding posisinya dibanding kemayoritasannya,” jelas Haedar.

Karenanya, jangan lengah dan sibuk dengan urusan-urusan yang remeh-temeh dan menguras energi umat. Berbagai ritual, upacara dan kegemaran kegiatan-kegiatan massal yang tidak produktif juga mesti ditata ulang agar tidak menghabiskan waktu dan peluang untuk maju.

“Jangan pulalah takabur diri dengan merasa umat Islam Indonesia terbaik dan menjadi role model segala hal keislaman untuk diekspor ke dunia Islam secara berlebihan. Padahal, berbagai kekurangan dan kelemahan tidak beranjak diperbaiki secara serius dan tersistem,” jelas Haedar.

Para aktivis dan pimpinan umat mesti membawa umat mayoritas ini berkemajuan di berbagai bidang. Tidak tenggelam dengan isu-isu politik maupun isu-isu artifisial lain yang membuat umat terbawa arus dan suasana kontroversi berkepanjangan dan kemudian menjadi kontraproduktif. Sementara, agenda-agenda strategis yang menyangkut hajat hidup nyata umat Islam tidak menjadi perhatian serius disertai usaha-usaha membangun kekuatan ekonomi dan lainnya yang secara signifikan dapat menaikkan keunggulan umat secara kualitatif.

“Jika ingin berhijrah di era mutakhir, maka umat Islam mesti meninggalkan pola pikir lama yang membelenggu dan membuat umat tidak bergerak maju,” tegas Haedar.

Pola hijrahnya tidak dogmatik dan artifisial atau pinggiran. Ubah secara transformatif pandangan keislaman yang kolot, dogmatik, apologik dan sempit dalam memahami Islam dan menjalani kehidupan. “Termasuk mengubah pandangan yang antidunia dan antikehidupan yang menyebabkan kemunduran umat Islam di tengah kemajuan umat dan bangsa lain,” kata Haedar.

Hijrah kontemporer meniscayakan umat Islam prokehidupan sehingga terwujud khaira ummah, yakni umat yang unggul berkemajuan di segala bidang kehidupan berfondasikan ajaran Islam.

Jika ingin menjadi umat terbaik, maka pandangan keislamannya menurut Prof Kuntowijoyo niscaya berparadigma profetik yang mengandung proses humanisasi, liberasi dan transendensi yang transformasional.

Paradigma profetik mesti berangkat dari fondasi Islam, tidak dengan pendekatan liberal-sekular maupun Marxisme-Neo Marxisme yang prinsip-prinsip epistemologisnya jelas berbeda dan untuk banyak hal mendasar tidak sejalan dengan Islam.

Paradigma profetik Islam transformatif akan mengubah dunia kehidupan umat manusia dari sangkar-besi teosentrik (agama abad tengah) dan antroposentrik (barat modern) menjadi teo-antroposentrik.

Menjadi umat dan bangsa yang bertuhan sekaligus prokehidupan yang mengemban misi ibadah dan kekhalifahan yang menebar rahmatan lil-‘alamin.

“Paradigma teo-antroposentrik itulah yang menjadi esensi pandangan Islam berkemajuan. Paradigma Islam yang unggul dan prokehidupan menuju puncak peradaban utama yang mencerahkan semesta,” pungkas Haedar. (Fan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here