KABAREWISATA.COM – Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY tertantang untuk ikut mengatasi masalah kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Kita sangat prihatin Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan sebagai provinsi termiskin di Indonesia, walau fakta dan cara penilaiannya perlu dikaji ulang dan diluruskan,” kata Drs Heroe Poerwadi, MA, Ketua MES DIY, saat Raker MES DIY di Hotel Grand Rohan Jogja pada 20 Januari 2023.
Mantan Wakil Walikota Yogyakarta mengaku sangat sangsi dan heran. “Sebab, sikap orang Yogyakarta yang sederhana, nrimo ing pandum dan tidak neko-neko, menjadi acuan penentuan untuk menentukan tingkat rangking kemiskinan,” kata Heroe.
Menurutnya, orang Yogyakarta itu biasa banget makan sehari dua kali, bahkan banyak yang menjalankan puasa sunnah. “Tetapi bukan berarti ini karena tingkat kemiskinan yang mengkhawatirkan,” kata Heroe Poerwadi.
Bagi Heroe, kalau bicara soal jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin, soal penghasilan dan pendapatan, perlu didiskusikan dan diteliti lebih lanjut.
Maka, MES DIY merasa tertantang untuk mengentaskan dan menanggulangi kemiskinan berbasis riset dan pengembangan UMKM secara Islami.
Mendapat tantangan bagaimana setiap komunitas masyarakat dapat berperan membantu menanggulangi kemiskinan, beberapa peserta Raker semangat memberi solusi.
Di antaranya Edi Sunarto selaku Sekretaris Umum MES DIY. “Kemiskinan sangat tergantung pada etos kerja dan kreativitas kerja,” kata Edi Sunarto.
Menurut pandangannya, rasanya salah besar Yogyakarta pada urutan kota termiskin di Indonesia. “Banyak orang kreatif dan pekerja dengan semangat kepandaian yang tak ada di kota lain kok dikatakan miskin, pasti ada yang salah,” ungkapnya.
Pemahaman kesalahan persepsi orang dikatakan miskin juga disampaikan Drs Beni Suharsono, M.Si, Kepala Bappeda DIY, siapapun tidak percaya ketika disebutkan bahwa Yogyakarta termasuk provinsi termiskin di Indonesia.
Berdasar data dan realitasnya, justru banyak kota dan pemerintah daerah di Indonesia belajar bagaimana kreativitas dan kemandirian masyarakat Yogyakarta.
Semua kaget. Siapapun ingin melihat data statistik masyarakat dan perkembangan demografi masyarakat DIY di kantor Bappeda DIY.
Sementara itu Kepala Satgas Halal DIY, H Agus Jaelani, S.Sos, MM, menduga, jangan-jangan angka kemiskinan tinggi di Yogyakarta karena masyarakatnya belum sepenuhnya menggunakan barang yang halal dan mendapat ridha dari Allah SWT.
“Jadi, siapa tahu kita tak diridhai Allah SWT gara-gara mendukung secara tidak langsung pemakaian produk yang tidak halal di setiap yang kita makan atau kita pakai setiap harinya,” kelakarnya.
Misalnya, makanan yang kita makan apakah sudah halal? Lalu, pakaian yang kita pakai apakah sudah terhindar dari item-item yang tidak halal?
Kata Agus, siapapun harus mendukung suksesnya produk halal dalam setiap produk. Para pengusaha UMKM harus mulai melihat manfaat sacara luas lisensi halal di dalam produknya. “Pasti akan menambah kualitas produksi dan pengakuan masyarakat,” tambahnya.
Disampaikan Tazbir Abdullah, pelaku dan pakar pariwisata halal, rasanya Yogyakarta yang kaya akan destinasi wisata alam, budaya, sejarah Mataram Islam, sangat mendukung bergeraknya ekonomi dan kondisi bisnis yang bertaut dengan peningkatan produktivitas. “Dan dipastikan mendongkrak pendapatan masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, kalau pariwisata halal atau muslim friendly digerakkan dengan sungguh-sungguh dapat mengentaskan kemiskinan.
“Di DIY ini basis pendapatan ekonomi masyarakat lebih mudah dengan menggerakkan sektor pariwisata,” kata Tazbir.
MES DIY memiliki banyak cara untuk ikut serta mengentaskan kemiskinan berbasis riset dan solutif. (Fan)