KABAREWISATA.COM – Lebaran hari kedua, masih tergolong libur nasional. Muslim menjadi mayoritas warga negara Indonesia, wajar kalau libur nasional Idul Fitri mendapat jatah paling banyak.
Mengapa Idul Fitri bukan Idul Adha, yang secara etimologi lebih besar Idul Adha dibanding Idul Fitri. Karena Idul Fitri tak hanya hari raya, tapi sudah menjadi tradisi yang lekat dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia, terutama Jawa.
Etnis terbesar di Indonesia itu, Idul Fitri yang masyarakat Jawa lebih sering menyebut dengan bakdo, lebaran atau riyadin menjadi kelindan berbagai tradisi yang ada.
Mulai dari mudik. Kemudian mudunan pun munjung. Lantas silaturahmi saat bakdo yang karib disebut ujung. Sebuah prosesi silaturahmi bakdo dengan sungkem kepada yang lebih tua.
Ada pula hadiah bakdo yang dikenal dengan fitrah. Terdapat pula halal bi halal dan terakhir bakdo kupat. Yang saat ini berkurang adalah tradisi mudunan, tradisi yang dilakukan sehari sebelum Idul Fitri sebagai bentuk muhasabah diri bahwa Ramadan segera berlalu.
Perlu mudunan (membumikan) aktivitas kebaikan saat Ramadan di hari- hari berikutnya. Demikian pula dengan munjung. Sebuah tradisi mengantarkan makanan ataupun bahan makanan kepada yang lebih tua. Sebentuk penghormatan nan kasih sayang.
Bila munjung dari yang muda ke yang tua, ada pula tradisi pemberian hadiah dari yang tua kepada yang lebih muda, terutama anak-anak.
Disebut dengan fitrah. Menjadi pertanyaan, sejak kapan ada tradisi fitrah saat bakdo? Islam masuk ke nusantara ataupun Jawa ada 4 teori yang menyebutkannya: Teori Arab, Teori Gujarat (India ), Teori Persia dan Teori Cina.
Nama-nama teori tersebut diambil dari bangsa di mana pendakwah Islam yang mula-mula menyebarkan Islam di nusantara pun Jawa.
Karena mereka berasal dari non-Jawa pun non-nusantara ada tradisi asal yang inheren mereka bawa dan tautkan dalam dakwah islam di Jawa. Inilah alasan kenapa ada unsur tradisi Arab, India, Persia pun Cina ada dan lekat dalam tradisi Islam di Jawa pun nusantara.
Hebatnya, para Walisongo serta juru dakwah terdahulu berhasil membuat asimilasi atas berbagai tradisi manca di atas menjadi tradisi Islam di Jawa jua nusantara. Lagi membumikan nilai-nilai keislaman dalam tradisi Jawa.
Tradisi fitrah berasal dari tradisi Cina. Dikenal dengan tradisi angpao.Tradisi angpao sendiri sudah ada di Cina sejak tahun 9 Masehi. Saat itu Cina dipimpin oleh Dinasti Han. Pada masa itu, sebagian besar angpao menggunakan uang tembaga yang berlubang bundar pun segi empat di bagian tengah.
Biasanya terdapat tulisan “fu shan shou hai” yang artinya semoga berbahagia dan panjang usia. Ada juga yang bertuliskan “qiang shen jian ti” yang artinya semoga sehat selalu.
Tradisi angpao tersebut dibawa oleh para pendakwah Islam yang berasal dari Cina. Islam sendiri berkembang di Cina sejak tahun 600-an. Ada beberapa literasi yang membawa Islam ke Cina adalah sahabat Saad bin Abi Waqqas. Satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga.
Sewaktu kedatangan Saad bin Abi Waqqas RA yang memerintah Cina adalah dinasti Tang. Dibangun pula Masjid Huaisheng di Guangzhou. Masjid pertama di Cina.
Islam pun berkembang di Cina dengan segala romantika dan dinamikanya. Saya pun kagum, satu aliran beladiri Cina: Ba Ji Quan, dikembangkan oleh Muslim Cina.
Komik silat kenji, cukup detail menggambarkan perkembangan aliran Ba Ji Quan oleh pesilat Muslim Cina.
Angpao yang menjadi tradisi Cina dan bersesuaian dengan nilai Islam, disebarkan pula oleh pendakwah Islam asal Cina di Jawa. Apalagi ketika Demak diperintah oleh Raden Patah, kian massif diaspora Muslim Cina di Jawa.
Raden Patah merupakan raja Demak yang berdarah Cina. Ibunya yang menjadi istri Brawijaya V berasal dari Cina. Dalam buku atlas Wali Songo, disebutkan ibu Raden Patah bernama Siu Ban Ci. Seorang muslimah Cina yang cerdas nan rupawan.
Sayang, karena fitnah, istri Brawijaya V lainya yang dibakar api cemburu. Ibu Raden Patah dikeluarkan dari istana Majapahit lantas “dibuang” ke Palembang. Dititipkan kepada Arya Damar. Penguasa Palembang.
Saat dibuang ke Palembang tersebut Siu Ban Ci hamil tua. Kemudian lahirlah Pangeran Jimbun, nama kecil Raden Patah.
Raden Patah menjadi Sultan Demak atas bimbingan Walisongo. Beberapa tradisi Cina yang bersesuaian Islam dibaurkan menjadi tradisi Jawa. Angpao berubah menjadi fitrah. Disematkan kata fitrah untuk mengingatkan adanya kewajiban zakat fitrah sebelum Idul Fitri.
Juga ada pesan filosofis, fitrah sebagai bentuk sedekah juga menjadi petuah. Saya masih ingat, ketika kecil dulu diberi fitrah, sembari ada doa dan petuah dari para sesepuh. Saat ini pun sama. Ketika memberikan fitrah kepada anak kecil selalu saya sematkan doa juga petuah.
Fitrah yang berkembang sebagai tradisi menjadi momentum untuk afirmasi kepada anak kecil. Diberi uang, walau nilai tak seberapa. Membuat anak kecil bahagia. Saat hati bahagia lebih mudah menangkap dan mematri petuah di sanubari anak kecil.
Fitrah juga menjadi sarana pendidikan keuangan untuk anak kecil. Untuk belajar menabung juga bersedekah kepada anak lainnya yang kurang beruntung. Yang kerap menyimpang adalah orang tua yang “gagal paham” terhadap uang fitrah uang dimiliki anaknya. Karena terdesak kebutuhan musabab tak ada perencanaan keuangan. Uang fitrah milik anak-anak berpindah tangan ke orang tua tanpa pertanggungjawaban jelas.
Kerap tak disadari hal tersebut membuat anak-anak merekam dalam benaknya tentang bolehnya “ngemplang” dan korupsi. Ngemplang itu hutang, tapi tak membayar kewajibannya.
Menjadi pertanyaan menarik, mengapa ngemplang dan korupsi seakan menjadi budaya? Salah siapa?
Tradisi fitrah selayaknya menjadi kesadaran. Tak hanya kesadaran bersedekah tetapi juga pendidikan karakter bagi anak kecil, sejak dini. (Yudi Janaka)