KABAREWISATA.COM – Dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra, menyebut fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai ekspresi protes masyarakat kepada pemerintah.
“Pemerintah sebaiknya melihat fenomena ini sebagai motivasi dan masyarakat membutuhkan perbaikan dari kondisi saat ini,” kata Gerry, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, menjadi fenomena menarik pengibaran bendera One Piece, jika ditinjau dari sudut pandang administrasi publik. “Fenomena ini merupakan salah satu bentuk ekspresi protes masyarakat terkait kondisi tata kelola negara yang dianggap belum sesuai harapan masyarakat,” paparnya.
Misalnya, berkaitan dengan kebijakan pajak, lapangan pekerjaan dan daya beli masyarakat yang dianggap belum sesuai harapan.
Gerry mengungkapkan, pemerintah sebaiknya melihat ini sebagai motivasi bahwa masyarakat membutuhkan perubahan atau perbaikan dari kondisi saat ini.
“Bendera non negara ini dapat disikapi sebagai simbol kritik yang sebaiknya dijawab dengan kinerja yang lebih baik,” ungkap Gerry.
Ia mengatakan, pengibaran bendera ini bukan sebagai pelanggaran selama tidak melanggar ketentuan perundangan, tidak dibenturkan dengan simbol negara, pengibaran tidak lebih tinggi atau bersanding dengan bendera merah putih.
“Saya berpendapat ini bagian dari ekspresi masyarakat dalam menyuarakan kritik dan harapan akan kondisi yang lebih baik lagi,” kata Gerry.
Gerry mengatakan, pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan pengibaran simbol non-negara seperti bendera organisasi atau lambang budaya harus tunduk pada ketentuan aturan yang mengutamakan kedudukan bendera Merah Putih di posisi utama, memperbolehkan bendera asing hanya dalam konteks diplomatik serta melarang simbol separatis yang bisa mengganggu nilai kesatuan bangsa.
Cukup jelas diterangkan bahwa tidak boleh merendahkan martabat bendera Pusaka. “Sehingga pengibaran bendera simbol seperti yang viral saat ini kembali lagi merujuk pada ketentuan yang ada,” tandasnya.
Katanya, jika berdiri tunggal pada ruang-ruang yang diperbolehkan, tentu dapat ditafsirkan tidak melanggar.
Gerry menyarankan pemerintah perlu menerapkan pendekatan dialogis, persuasif dan partisipatif yang memberi ruang ekspresi kreatif generasi muda. “Namun tetap menanamkan nilai kebangsaan melalui edukasi, kolaborasi budaya, dan keteladanan publik,” ujarnya.
Jika berkaitan dengan kondisi negara yang kurang ideal, kata Gerry, pemerintah jangan lupa juga untuk terus berupaya terbuka terhadap kritik dan memperbaiki atau meningkatkan kualitas kinerja.
Gerry melihat, sampai hari ini pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah tidak mempermasalahkan, selama tidak melanggar aturan. “Namun, pada tataran teknis lapangan saya melihat beberapa pemberitaan terkait perintah penghapusan gambar atau simbol tertentu,” ungkapnya.
Bagi Gerry, pemerintah sebaiknya berupaya lebih konsisten dalam mengambil kebijakan, tidak represif, mengutamakan pendekatan terbuka dan komunikatif terhadap masyarakat.
Upaya ini dirasa akan lebih efektif dalam meredam polarisasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat. “Alih-alih mengutamakan pendekatan pelarangan secara keras,” ucapnya.
Ia juga menyinggung anak muda saat ini bagian dari Gen Z dalam fase bertumbuh untuk memahami berbagai situasi, termasuk didalamnya belajar memahami situasi negara saat ini.
Dengan karakter Gen Z yang dikenal kreatif, out of the box dan berfikir cepat sangat mungkin caranya mengekspresikan perasaan akan berbeda dari generasi sebelumnya. “Maka, pergeseran budaya menjadi tidak terelakkan,” katanya.
Kondisi tersebut selama tidak melanggar norma dan aturan, Gerry berpendapat sah saja dilakukan. Hal ini relevan dengan kalimat setiap orang ada masanya, mungkin saat ini memang eranya gen Z berekspresi dengan caranya. “Tugas generasi sebelumnya membimbing dan mengarahkan agar tidak kebablasan,” kata Gerry. (Fan)