Maklumat Kotagede: Memanusiakan dengan Bergerak Melintasi Batas Budaya

0
13

KABAREWISATA.COM – Sebanyak 17 seniman dan budayawan di Yogyakarta usai Kongres Seniman yang digelar KOSETA DIY 2025 belum lama ini, menandatangani “Maklumat Kotagede” demi resonansi agung nusantara dan dunia.

Adapun 17 seniman dan budayawan sang pewaris waskita itu adalah Nasruddin Anshoryi Ch, Taufik Rahzein, Erwito Wibowo, Sigit Sugito, Priyo Salim, Joko Juniwarto, Supriyatno Sensa, Emha Irawan, Devi Kusumawardhani, Agung Jaker, Danuri, Slamet Widodo, Edi Prasetya, May May, Yani Sapto Hudoyo, Sri Wahyuningsih dan Bambang Haryana.

Disampaikan Sigit Sugito, Maklumat Kotagede itu adalah peta dan sekaligus kompas. “Ia menuntut kita semua untuk menjadi sang musafir, sosok yang melakukan nguwongke atau memanusiakan dengan bergerak melintasi batas budaya, membawa etika kerendahan hati dan rasa ingin tahu yang tak terbatas,” kata Sigit Sugito, Selasa (14/10/2025).

Menurutnya, jika kebudayaan menjadi pilar utama, kita tidak hanya membangun dunia yang berkelanjutan. “Tetapi juga dunia yang memiliki makna sejati,” papar Sigit Sugito.

Pada kesempatan tersebut disinggung Kotagede sebagai Candi Nurani, Sapto Hudoyo: Tujuh Laku Tirakat Menuju Hakikat (Prasaja Algoritma, Yogyakarta sebagai Ibu Kota Kebudayaan, Jaminan Kemerdekaan Cipta, Memulihkan Pusaka Jati, Benteng Sosial Koperasi Budaya, Ikon sebagai Pusat Waspada, Dharma Dewan Wasita), Sumpah Kredo Jati Diri.

Mereka bersumpah (prasetia) bahwa kebudayaan adalah akar dari segala kemerdekaan dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh leluhur dan Pembukaan UUD 1945.

“Kami menolak kekuasaan dogma tunggal dan kemerosotan makna budaya yang mereduksi jiwa menjadikan komoditas,” kata Sigit Sugito.

Pihaknya akan membela daya cipta murni sebagai hak asasi batin. “Kami menetapkan kebudayaan sebagai pilar kelima pembangunan berkelanjutan, mewujudkan laku etis yang menjembatani etika dan estetika,” papar Sigit Sugito.

Pewaris hikayat dan sastra gendhing peradaban merasa zaman kini terbagi. “Inilah zaman penuh keraguan, di mana teknologi merobek selaput kesucian jiwa atau nirmala,” tukas Sigit Sugito.

Janji kemudahan hanyalah ilusi, melahirkan kemerosotan makna budaya yang mengikis tujuan hidup (sangkan paraning dumadi).

Bagi Sigit, kebudayaan seharusnya menjadi pondasi kesatuan atau golong gilig bangsa. “Kini hanya hiasan fana, kehilangan pesona dan kehormatannya. Kita menyaksikan laku etis atau tindakan moral runtuh, digantikan oleh kekosongan rasa keindahan yang tak berisi,” kata Sigit Sugito.

Maklumat Kotagede itu bukan sekadar naskah. Melainkan seruan suci, sebuah zikir kolektif, yang menempatkan budaya sebagai pilar kelima pembangunan.

Berangkat dari Kredo UUD 1945 (kedaulatan menolak penghapusan pengetahuan lokal) dan Janji Bali dalam World Culture 2013 (komitmen inklusif), Maklumat Kotagede tersebut berpegang teguh pada Undang-undang Pemajuan Kebudayaan.

Dari rahim ibu pertiwi Mataram, mereka juga mendeklarasikan Sapto Hudoyo (tujuh prasetya laku budaya). Tujuh jalan sunyi dan mendalam untuk mengembalikan resonansi etis dan estetis ke dalam diri (bhuana alit) dan semesta (bhuana agung).

Tujuh prasetya itu adalah ikhtiar merobek kekuasaan dogma tunggal yang dicetak oleh mesin. “Ini adalah upaya pemulihan ingatan dan penegasan kebijaksanaan beragam cara mengetahui, menjadikan kebudayaan daerah sebagai mata air kehidupan,” kata Sigit Sugito. (Fan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here