KABAREWISATA.COM — Lebih dari 100 seniman mancanegara berkumpul di Pulau Ketam Malaysia dalam acara International Art Festival yang sukses digelar 14-19 September 2025 lalu.
Seniman yang terlibat itu berasal dari Jerman, Kanada, China, Filipina, Thailand, India, dan negara lainnya. Tentu saja, tidak ketinggalan seniman Indonesia dan Malaysia.
Lokasi gelaran seni tersebut sangat unik: di sebuah pulau kecil yang tidak ada mobil dan sepeda motor. Kehidupan di pulau yang terletak di lepas pantai Klang, Selangor, Malaysia, dipenuhi nelayan tradisional Tionghoa yang nenek moyangnya telah datang sejak tahun 1880-an.
Maka, tidak aneh jika atmosfir kebudayaan pulau Ketam bernuansa kampung pecinan. Bahasa tulis maupun oralnya menggunakan bahasa Mandarin. Bangunan klenteng ada di mana-mana dan chinese food menjadi santapan utama.

Pemandangan di tempat tersebut terasa eksotik. Pulau Ketam dipenuhi rawa-rawa, maka penduduknya mesti membuat rumah panggung untuk tempat tinggal. Tiang-tiang tinggi menyangga rumah mereka. Dulu, kayu ulin yang tahan air digunakan untuk penyangga, kini memanfaatkan
tiang beton yang rata-rata dibalut paralon besar.
Tidak hanya rumah, jalan pun mesti disangga tiang. Dengan demikian, jalanan di seluruh pulau Ketam laksana jembatan.
Karena sempit, jalan di sana tidak dapat dilewati mobil. Selain itu, di lokasi yang panas itu tidak ada pom bensin, transportasinya menggunakan motor listrik, sepeda kayuh dan jalan kaki.
Suasana unik pulau Ketam tersebut ditangkap Deni Junaedi, salah satu peserta International Art Festival. Pria kelahiran Sukorejo, Kendal, 21 Juni 1973, datang mewakili Indonesia, khususnya dari kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Deni tidak menangkap apa adanya suasana pulau Ketam. Lewat bahasa visual metaforis, ia membuat lukisan dengan judul From the Light, a New Ship is
Coming. Sebuah kapal yang ukurannya lebih besar dibanding perahu lain, datang dari arah cahaya keemasan. Hal itu menggambarkan harapan untuk kehidupan yang lebih baik bagi pulau tersebut.

Deni Je, demikian namanya, lebih dikenal di medsos. Kali ini memilih warna merah untuk mendominasi lukisannya. Ini menggambarkan kehidupan di pulau Ketam yang bernuansa Tionghoa.
Di sisi kiri atas lukisan terdapat beberapa rumah panggung yang panjang tiang penyangganya dilebih-lebihkan. Pemandangan tiang-tiang itu memang sangat dominan sehingga menarik perhatian wisatawan.
Di sisi bawah bidang lukisan terdapat hutan mangrove lengkap dengan refleksi air warna-warni. Tidak lupa Deni melukis jembatan yang ada di pulau Ketam. Objek itu menjadi perekam pengalamannya bahwa selama sepekan ia mesti berjalan kaki pulang pergi melintasi tiga jembatan yang ada di antara penginapan dan lokasi workshop.
Bersama karya seniman lain, lukisan Deni Junaedi dipamerkan di akhir acara
International Art Festival Pulau Ketam. Selain lukisan, Deni Junaedi bersama Umar Chusaeni menggelar performance art.
Guntur Wibowo, Ketua Komunitas Seni JongMerdeka dan dosen seni lukis Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), amati proses penciptaan lukisan Deni Junaedi di International Art Festival Pulau Ketam.
Guntur dapat mengikutinya karena Deni tiap hari mengunggah proses melukis lewat platform media sosial. Menurut Guntur, lukisan yang diciptakan Junaedi tidak hanya merekam fisik lanskap. “Tetapi juga suasana batin, harapan dan imajinasi senimannya,” kata Guntur, Senin (15/12/2025).
Pendekatan surealistik yang digunakannya membuat karya itu mempunyai pesan dan perenungan mendalam: merasakan ketenangan sekaligus optimisme yang terpancar dari warna dan komposisinya.
Guntur menambahkan, secara visual karya tersebut memiliki kekuatan dalam harmoni warna dan penataan komposisi yang dinamis. “Warna merah yang dominan melahirkan kehangatan, optimis dan simbolik, dipadukan dengan warna cahaya kemasan yang membuat kesan spiritual yang penuh harapan,” paparnya.
Karya tersebut bukan sekadar pemandangan, tapi juga refleksi tentang hubungan manusia, alam dan masa depan. Kegemaran Deni Junaedi mengunggah proses penciptaan lukisan di media sosial, baik di Instagram, Facebook, TikTok dan terutama kanal YouTube Painting Explorer, juga ditanggapi Guntur.
Kegemaran Deni Junaedi mengunggah proses penciptaan lukisannya di media sosial, menurut Guntur, menjadi nilai tambah. “Sehingga publik tidak hanya disuguhi hasil akhir, tetapi diajak juga untuk memahami proses kreatif, emosi dan pencarian makna di balik karya,” katanya.
Hal itu menjadikan karya Deni Junaedi jujur, terbuka dan relevan dengan seni kontemporer saat ini. Aktivitas Deni Junaedi ikut mewarnai International Art Festival Pulau Ketam Malaysia.
Selain dia, acara itu juga dihadiri seniman lain yang berasal dari Indonesia: Lutse Lambert Daniel Morin, Bambang Pramono, Dony Arsetyasmoro, Prayanto Widyo Harsanto, Noor Sudiyati, Arif Suharson, Januri dan Umar Chusaeni. (Fan)














