KABAREWISATA.COM – Pangeran Diponegoro identik dengan perjuangan rakyat. Kesediaan untuk keluar dari istana dan menanggalkan kemewahan, lalu berjuang mengangkat senjata bersama rakyat, menjadi awal mula bangkrutnya pemerintahan Kolonial Belanda.
Bergerak dan bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain tidak saja membuat pertahanan Belanda keteteran, tapi juga mampu membangkitkan solidaritas bangsa. “Itu menjadi monumen perjuangan abadi yang berdiri sejak akhir abad XIX,” ungkap Masrokhim Imam, Ketua Kalurahan Budaya Sidomulyo, Jum’at (6/1/2023).
Menurut Masrokhim, Perang Diponegoro yang dikenal sebagai Java Oorlog atau Perang Jawa berlangsung antara 1825 – 1830.
Dalam durasi lima tahun itu, strategi perang gerilya terbukti efektif menguras kas Belanda. “Hingga membuatnya bangkrut dan mengalami krisis ekonomi dalam sejarahnya,” katanya.
Perang Diponegoro menjadi perang terbesar dan terlama yang dihadapi Belanda di luar benua Eropa. “Dalam perspektif Indonesia, perang itu menjadi simbol atas membaranya keyakinan menang perang melawan Belanda,” ungkap Masrokhim.
Jejak Diponegoro pun ditemukan di berbagai sudut desa hingga penjara dan benteng pertahanan di kota. Terekam dalam beragam narasi, melibatkan beragam tokoh dan menyisakan situs, peninggalan sejarah serta memori kolektif yang tersimpan di benak masyarakat. Satu di antaranya seperti yang ada di Dusun Gancahan, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman.
Tak banyak yang tahu, salah satu episode Perang Diponegoro itu meletus di wilayah dusun Gancahan. Berbatas Kali Gagak Suro, prajurit Diponegoro bertempur melawan pasukan Belanda.
Bukan sebuah kebetulan jika di kawasan itu terdapat makam Kyai Wirajamba, satu dari empat abdi dalem terpercaya Pangeran Mangkubumi (HB I).
Saat tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang (1756), Pangeran Mangkubumi yang suka berkelana pernah singgah di Gancahan dan bertemu dengan Kyai Wirajamba. “Itulah yang membuka selubung sejarah yang menyelimuti masa lalu kawasan Sleman bagian barat,” terang Masrokhim.
Bagi Keluarga Alumni Sejarah Universitas Gadjah Mada (Kasagama), menarik benang merah jejak sejarah lalu merangkainya menjadi kisah merupakan tugas kesejarahan.
Mengangkat kisah yang hidup di dalam memori kolektif masyarakat ke dalam berbagai kegiatan yang positif, berfungsi menghidupkan sejarah. “Dari situlah masyarakat dan bangsa ini bisa mengambil makna dan keteladanan,” kata Wahjudi Djaja, SS, M.Pd, Ketua Umum Kasagama.
Bagi Pengurus Kalurahan Budaya Sidomulyo, upaya untuk mengangkat sejarah akan menjadi narasi yang penting bagi generasi penerus.
Mereka akan memiliki kebanggaan tersendiri di wilayahnya pernah menjadi kancah peperangan yang begitu berarti bagi nasib bangsa.
“Kami berharap generasi muda meneladani semangat juang Pangeran Diponegoro untuk melanjutkan perjuangan,” tandas Masrokhim Imam, Ketua Pengelola Kalurahan Sidomulyo.
Sedangkan bagi pemerintah Kalurahan Sidomulyo, mengangkat peristiwa Perang Diponegoro bisa menjadi generator yang mampu menggerakkan optimalisasi potensi Sidomulyo. “Kami berharap momentum itu bisa menggerakkan potensi yang dimiliki Sidomulyo,” papar Rustho Busono selaku Lurah Sidomulyo.
Selain aspek kesejarahan, ada peluang besar untuk memperkenalkan potensi seni budaya, kuliner, kerajinan, UMKM, perikanan, dan pariwisata. “Harapan kami, itu berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat,” kata Lurah Sidomulyo Rustho Busono.
Berkaitan dengan hal tersebut Kasagama bersama Pemkal Sidomulyo dan Pengelola Kalurahan Budaya Sidomulyo menggelar Haul 168 Tahun Sang Pangeran pada Sabtu, 7 Januari 2023 pukul 19.30 WIB.
Kegiatan yang digelar di Area Parkir Timur Embung Gagak Suro Dusun Gancahan, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman, dimeriahkan Hadrah PP Mambaul Ulum Gancahan VI asuhan Kyai Ahmad Hamzah, pembacaan puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar oleh Laras Rahmawati dan “Kancah Gagak Suro” karya Wahjudi Djaja oleh Siti Maghfirotin Na’im.
Selain itu dikukuhkan pula Pengurus Kalurahan Budaya Sidomulyo, umbul donga dan sarasehan sejarah “Kancah Perang Diponegoro di Kali Gagak Suro” dengan Narasumber Ki Roni Sodewo (Trah Pangeran Diponegoro) dan Moderator Wahjudi Djaja, SS, MPd (Ketua Umum Kasagama).
Tak kalah menariknya pemutaran film berjudul “Titi Mangsa” dengan aktor utama Ki Roni Sodewo, yang berkisah tentang akhir masa perjuangan Pangeran Diponegoro pada 1830 bersumber dari Babad Diponegoro yang ditulis langsung oleh Sang Pangeran.
Selain mengangkat sejarah lokal, Haul 168 Tahun Sang Pangeran diharapkan bisa mempertemukan kalangan sejarawan dengan masyarakat. “Dan menjadi agenda tahunan yang diperingati,” ungkap Wahjudi Djaja.
Dengan demikian, peristiwa dan tokoh sejarah lokal bisa didokumentasikan untuk memperkaya serta melengkapi sejarah nasional. (Fan)